Setiap keluarga mempunyai pandangan
atau rules tersendiri yang ditanam dan menjadi acuan dalam segala keputusan.
Begitupun dengan keluarga saya. Jika perlu dijabarkan, bapak saya dibesarkan dilingkungan wiraswasta
yang notabene pekerja, mandiri, dan selalu mengambil keputusan dengan research
atau data, sedangkan mamah saya dididik dengan ilmu agama yang sangat kental.
Yah, mamah dibesarkan dilingkungan pesantren. Kedua orang tua bapak sudah
tiada, pun dengan sanak saudara kandung, yang mana bapak hanya punya satu
saudara yang juga sudah tiada. Sedangkan orang tua mamah dan tujuh
bersaudaranya masih ada sehingga ketika lebaran ataupun acara rutin keluarga
suka kumpul di keluarga mamah.
Karena frekuensi interaksi yang lebih
banyak dengan keluarga besar mamah menjadikan pandangan keluarga saya lebih ke
didikan pesantrenan. Ya mungkin ini tidak dirasakan semua (kakak dan ade saya),
tapi lebih ke saya yang lebih merasakan nuansa santriannya. Dari keluarga besar
mamah, mamahlah satu – satunya anak perempuan, yang otomatis jika berkeluarga
apapun dasar keluarga akan dipandu oleh seorang suami. Dan tentunya mamah dipandu
oleh bapak dalam hal berkeluarga. Dan dari ke tujuh anak tersebut, anak – anak
mamahlah yang tidak diarahkan untuk mondok dipesantren. Which is cucu – cucu nenek yang tidak mondok
nyantri ya saya, ade, dan kakak saya. Ehehehe...
Kakak dan adik – adik mamah notabene
menjadi pendidik dibidang agama (red. Ustad) dan sebagian besar dari mereka
mendirikan pondok pesantren. Jadi jelaslah ya pastinya anak – anaknya akan
diarahkan untuk mondok hehehe..
Mungkin ada yang bertanya, kenapa
saya tidak ikut mondok juga? Mmm kenapa yah? Pada waktu itu, ketika memutuskan
untuk sekolah formal negeri saja punya alasan bahwa dengan hanya ngaji rutin
tiap malam di pesantren uwa (kakak mamah), kalo istilah santri mah santri
kalong wkwk, sudah cukup untuk membekali ilmu agama.
Buuutttt... is’s wrong!! Saya baru
menyadarinya sekarang. Sangat tidaaaaaak cukup! Dulu nenek pernah bilang ketika
salah satu cucunya mau menimba ilmu di gontor. “Kamu boleh pergi ke gontor,
tapi sepulang dari gontor, harus masuk pondok pesantren A untuk pendalaman
tauhidnya”. Dalam hati saya berkata, serius harus mondok lagi? Padahal sebelum
ke gontor dia udah mondok di pesantren B. Terus cerita lain datang dari paman.
Pada waktu itu anak paman mau dikirim mondok. “mang udah aja mondoknya di
bandung kan banyak pondok pesantren terkenal, bagus pulak” “tidak cukup dengan
itu, kajian ilmu agama harus dari ushul, salah satunya dikaji langsung dari
kitab kuningnya”, lagi lagi saya berkata dalam hati, ah sama saja kan. Dan juga
perkataan uwa “mondok itu bukan hanya sekedar untuk jadi ustadz, jadi ajengan
atau kyai, atau bahkan untuk menghasilkan uang. Tidak! Tapi mondok adalah
mencari tahu hidup yang benar itu seperti apa, harus seperti apa dan bagaimana
saya hidup. Untuk dirimu, untuk pedoman dirimu”
Memang benar, pemahaman itu datangnya
tidak sekaligus tapi dari kajian dan proses. Sekarang saya tau maksudnya, dan
saya begitu miskin banget akan ilmu. Jadi menyesal dulu ga sempet mondok atau
sekolah sambil mondok.
Tapi inti dari tulisan ini bukan
masalah mondok atau tidaknya, pernah jadi santri atau tidaknya. Tapi sejauh
mana kita istiqomah dalam memperbaiki diri, menambah ilmu agama, dan
mengamalkan ilmu, lebih bagus lagi mengajak atau memberi pemahaman kepada
sesama dan mengajaknya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tidak hanya
sekedar La ilaaha Illallah, tapi juga Muhammadur Rasulullah.
Di Hari Santri ini, ayo sempatkan sholawat nariyah, jadikan
diri kita menjadi simbol atau cerminan muslim yang memahami, mengkaji, dan
mengamalkan ajaran Islam. Jangan merasa saya tidak meramaikan hari santri
karena saya tidak pernah mondok di pesantren, kalau kata Pak Sad Aqil mah “Ada
yang lulusan SD, SMP, SMA, Universiatas tapi hormat kepada kyai dan dia
menjalankan perintah agama, ibadah, itu sudah kita panggil santri”.
Selamat Hari Santri 2017
“Bahkti Santri Untuk
Negeri, Santri Mandiri NKRI Hebat”
Salah satu kegiatan menyambut hari santri, sholawat nariyahan
di Pondok Pesantren KH. Zaenal Musthafa Sukamanah - Tasikmalaya #1miliarSholawatNariyah